Kamis, 22 Desember 2011

AMR & NAHI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang dalam lagi luas dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna. Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Ilmu Ushul Fiqh yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah) yaitu tentang ‘Am, Khos, Amr, Nahi dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam makalah ini pembahasan yang akan kita pelajari adalah yang berkaitan dengan Amr dan Nahi.

1.2. Rumusan Masalah
Agar dalam penulisan makalah ini lebih mengarah dan efektif, kami merumuskan masalah yang akan kami bahas yaitu :
1. Pengertian Amr dan Nahi
2. Bentuk-bentuk Amr dan Nahi
3. Kemungkinan hukum berkenaan dengan Amr dan Nahi
4. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Amr dan Nahi

1.3. Tujuan
Tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan tentang pengertian Amr dan Nahi
2. Menjelaskan tentang bentuk-bentuk Amr dan Nahi
3. Menjelaskan tentang kemungkinan hukum berkenaan dengan Amr dan Nahi.
4. Menjelaskan tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Amr dan Nahi

1.4. Batasan Masalah
Dalam makalah ini kami memberi batasan pada masalah yang kami uraikan. Kami menjelaskan tentang pengertian, bentuk-bentuk, kemungkinan hukum serta kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Amr dan Nahi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, bentuk, kemungkinan hukum, dan kaidah-kaidah yang berkenaan dengan Amr.
2.1. Pengertian dan bentuk-bentuk ‘Amr.
Amar menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah adalah,
الأمر طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
”amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng lebih rendah tingkatannya.”
atau dapat didefinisikan,
اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة الإستعلاء
Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. [1]
Adapun perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi antara lain:
a) Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (أمر)
QS. An-Nahl (16) : 90
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
b) Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba (كتب)
QS. Al-Baqarah (2) : 178

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
c) Perintah dengan menggunakan kata faradha (فرض/mewajibkan).
QS. Al-Ahzab (33) : 50
“Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

2.2 Hukum-hukum yang mungkin ditunjukan ‘Amr.
Suatu bentuk perintah, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar Ushul Fiqh Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai pengertian, yaitu:
a) Menunjukkan hukum wajib seperti perintah untuk sholat.
b) Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan.
QS. Al-Mukminun (23) : 51



”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
c) Sebagai anjuran.
QS. Al-Baqarah (2) : 282
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. ..”
d) Untuk melemahkan.
QS. Al-Baqarah (2) : 23
”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar..”

2.3. Kaidah-kaidah dalam ’Amr.
Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada beberapa kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.
Kaidah pertama, الأصل قى الأمر للوجوب, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.
Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah QS. An-Nisa (4) : 77
”Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: Tahanlah tanganmu (dari berperang), Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!..."
Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan zakat. Adapun contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain wajib, QS. Al-Baqarah (2) : 283
”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kaidah kedua, دلالة الأمر على التكرار أو الواحدة, adalah suatu perintah, haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?. Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk itu.
Contohnya QS. Al-Baqarah : 196

”Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena Allah….”
Perintah melakukan haji dalam ayat diatas sudah terpenuhi satu kali haji dalam seumur hidup. Adanya kemestian pengulangan ditunjukkan oleh dalil lain. QS. Al-Isra (17) : 78
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah seperti dinukil Muhammad Adib Saleh,
suatu perintah pada dasarnya menunjukkan berulang kali dilakukan sepanjang hidup, kecuali ada dalil yang menunjukkan cukup dilaukan satu kali.[2]
Kaidah ketiga, دلالة الأمر على الفور أو التراخىو, adalah suatu perintah, dilakukan sesegera mengkin atau bisa ditunda-tunda?.Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama Ushul Fiqh. Sedangkan adanya ajaran suatu kebaikan segera dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri, tetapi dari dalil lain.
Menurut sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al-Karkhi (w. 340 H) seperti dinukil Muhammad Adib Salih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan. Barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.[3]

2.4. Segi-segi lain dari Amr
Perintah atau suruhan ada kalanya datang sesudah larangan, dan dipertanyakan pula apakah harus segera dikerjakan atau harus berulang-ulang kali dikerjakan.
Oleh karena itu para ulama uul telah memberikan beberapa patokan dan ketentuan-ketentuan untuk menjadi pedoman dalam menginsbatkan hukum.[4]
1) Perintah sesudah larangan (الأمر بعد النهي)
Ada perbedaan pendapat ulama tentang dalalah amar sesudah nahi (larangan). Ada yang mengatakan bahwa amar itu tetap wajib dikerjakan walaupun sebelumnya ada larangan untuk berbuat

Contoh sabda nabi:
دعى الصلاة أيام أفرائك فإذا ادبرث الحيصة فاغثسلى عنك الدم
“Tinggalkanlah (janganlah mengerjakan) shalat pada hari-hari haidlmu, apabila haid sudah hilang maka mandilah. Kemudian teruskan sholat seperti biasa.”
Namun demikian yang masyhur dikalangan ulama ushul ialah amar sesudah nahi adalah ibahah ( الأمر بعد النهي يفيد الإباجة ).[5]

2) Perintah dan waktu mengerjakannya
Lafadz amar dalam al-Qur’an maupun al-Hadits pada hakekatnya adalah untuk mengerjakan apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dikerjakan dalam waktu yang cepat ataupun ditangguhkan.
Ada kaidah yang menegaskan:
الأمر لا يقثضي الفور
Suatu perintah atau suruhan itu tidak menghendaki kesegeraan dikerjakan
Contoh yang menunjukkan tidak harus segera dikerjakan, seperti firman Allah dalam QS. Al-Isra (17) : 78

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
Dan sabda nabi :
إن الله كثب عليكم الحج فحجوا (الحديت)
3) Perintah dan perulangan mengerjakannya
Pada dasarnya tidak ada ketentuan bahwa lafadz amar menuntut supaya suruhan atau perintah dikerjakan sekali saja atau lebih atau berulang-ulang.

Oleh karena itu dikalangan ulama ushul fiqh ada kaedah:
الإصل فى الأمر لا يقثضى الثكرار
Pada dasarnya suruhan/perintah titu tidak menghendaki perulangan (berulang-ulang mengerjakan perintah itu).
Kalau perintah itu harus dikerjakan berulang-ulang, maka harus ada kata-kata atau qarinah yang menyertainya yang menunjukkan kepada perulangan itu.[6]
4) Perintah dan perantaranya (wasilah)
Kadang-kadang ada perintah yang tidak dapat terwujud tanpa adanya perbuatan-perbuatan lain yang mendahuluinya atau alat-alat tertentu untuk dapat melaksanakan perintah-perintah tersebut.
Perbuatan-perbuatan lain atau alat-alat tertentu disebut wasilah (perantara)[7]
الأمر بالشيئ أمر بوسائله
Memerintahkan sesuatu berarti memerintahkan pula seluruh wasilahnya.
Wasilah-wasilah itu bisa berupa:
1. Syarat seperti bersuci untuk sahnya sholat
2. Adat kebiasaan seperti memakai paying bila ingin menghindari panas sinar matahari atau basah karena hujan.

B. Pengertian, bentuk, kemungkinan hukum, dan kaidah-kaidah yang berkenaan dengan Nahi.
2.5. Pengertian dan bentuk-bentuk Nahi
Mayoritas ulama Ushul Fiqh mendefinisikan nahi sebagai
طلب الكف عن الفعل على جهة الإستعلاء بالسيغة الدال عليه
Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.

Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau bentuk berita yang nermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk tidak melakukan yang dilarang secara tetap dan pasti.[8]
Firman Allah Swt, QS. Al-Baqarah (2) : 221
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,”
Memberikan pengertian: Haram bagi seorang laki-laki muslim mengawini wanita musyrik.
Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik. Allah juga memakai berbagai ragam bahasa, diantaranya adalah:
a) Larangan tegas dengan memakai kata naha (نهى) atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang.
Seperti surat dalam QS. An-Nahl (16) : 90,
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

b) Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Al-’Araf : 33
”Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan

Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."
d) Larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih.
QS. At-Taubah (9) : 34
“..dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,”

2.6 Kemungkinan hukum yang ditunjukan bentuk Nahi.
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya menunjukkan berbagai pengertian, antara lain:
a) Menunjukkan hukum haram, misalnya QS. Al-Baqarah (2) : 221
”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,”
b) Sebagai anjuran untuk meninggalkan, seperti dalam QS. Al-Maidah (5) : 101

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”


c) Penghinaan, dalam QS. At-Tahrim (66) : 7

“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.”

2.7 Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi.
Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan larangan, antara lain,
Kaidah pertama, الأصل فى النهى للتحريم, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.
Contohnya ayat 151 surat al-An’am.

“dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar“
Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam Surat Al-Jum’ah (62) : 9.

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Kaidah kedua, الأصل فى النهى يطلق الفساد مطلقا, suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.[9]
Kaidah ketiga, النهي عن الشيئ أمر بضده, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya. Seperti dalam QS. Luqman (31) : 18

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri..”
Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut,
1. ‘Amr adalah Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.
2. Nahi adalah Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.

SARAN
Dengan pemaparan makalah tentang pengertian, bentuk-bentuk, kemungkinan hukum serta kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Amr dan Nahi ini semoga kita dapat :
1. Dengan mudah mengetahui arti dan maksudnya dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Serta mendorong kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna.
2. Dengan mudah untuk membuktikan kelemahan dan kebodohan kita sebagai manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan kita, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah Swt, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria dan M. zein, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2005
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh.
Quraisy Syihab, Ushul Fiqh II, hlm. 33.
http://bayanzhou.blogspot.com/2011/02/amr-nahi-takhyir-am-dan-khos.html

0 komentar: